Mengembalikan Jiwa Kemerdekaan Pers: Antara Kebebasan, Disinformasi, dan Tanggung Jawab

  • Whatsapp

Lampung Tengah—Alfa Dera Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Lampung Tengah / Alumni Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Jayabaya

Pers Itu Bukan Sekadar Kebebasan, Tapi Kemerdekaan yang Bermartabat

Di era digital yang serba cepat ini, informasi beredar dalam hitungan detik. Namun di balik kemudahan itu, muncul gelombang baru yang lebih berbahaya: disinformasi dan fitnah digital.

Banyak orang dengan mudah membuat, menyebarkan, bahkan mempercayai berita tanpa proses verifikasi.

Kita hidup di masa yang oleh banyak ulama disebut sebagai “zaman fitnah” — ketika kebenaran tampak salah dan yang salah tampak benar, karena dikemas begitu meyakinkan di dunia maya.

Dalam situasi seperti ini, profesi jurnalis sejati menjadi benteng terakhir peradaban.

Sebab, di tengah banjir informasi dan fitnah, hanya jurnalisme yang beretika dan berjiwa kemerdekaanlah yang bisa menuntun masyarakat pada kebenaran.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers tidak pernah menempatkan kebebasan sebagai tujuan akhir.
Yang menjadi cita-cita luhur adalah kemerdekaan pers — yakni kebebasan yang bertanggung jawab, yang tunduk pada nilai moral, hukum, dan akal sehat publik.

Kebebasan hanyalah sarana,tetapi kemerdekaan adalah tujuan.

Maka, ketika pers dijalankan tanpa etika, tanpa profesionalisme, dan tanpa tanggung jawab,
yang tumbuh bukan kemerdekaan, melainkan anarki informasi.

Kita menyaksikan munculnya “media” yang tidak memiliki legalitas, tidak memegang kode etik, dan menjadikan profesi wartawan sebagai kedok untuk melakukan pemerasan, ancaman, atau manipulasi opini publik.

Fenomena ini bukan hanya mencederai hukum,
tetapi juga merusak kemuliaan profesi pers yang seharusnya dijalankan dengan nurani, kehormatan, dan dedikasi terhadap kebenaran.

Fitnah di era digital tak lagi membutuhkan panggung — cukup satu jempol, satu unggahan, satu video singkat,
dan ribuan orang bisa tertipu.

Inilah “fitnah akhir zaman” dalam wujud modern: bukan pedang yang melukai, tapi narasi yang memecah-belah.

Pers sejati seharusnya berdiri di tengah, menjaga keseimbangan antara hak publik untuk tahu dan kewajiban moral untuk menyaring kebenaran.

Karena informasi yang salah bukan hanya merusak reputasi seseorang, tetapi juga menjerumuskan bangsa ke jurang kebingungan dan kehilangan kepercayaan.

Dalam situasi seperti ini, kolaborasi semua pihak menjadi keniscayaan.Pemerintah harus mendukung dan memperkuat pers yang profesional, independen, dan berintegritas.

Sementara itu, organisasi pers dan Dewan Pers harus berani menertibkan oknum-oknum yang berlindung di balik nama pers untuk melakukan tindakan premanisme atau pemerasan.

Pers diperlukan untuk kontrol sosial,tetapi kontrol itu harus dijalankan oleh mereka yang memahami makna kemerdekaan pers, bukan sekadar kebebasan tanpa batas.

Kita tidak boleh diam melihat profesi mulia ini dirusak oleh segelintir orang yang hanya menjadikan media sebagai alat tekanan, bukan pencerahan.
Karena ketika marwah pers jatuh, maka jatuh pula kepercayaan rakyat terhadap informasi, dan rusaklah sendi-sendi demokrasi.

Jiwa sejati kemerdekaan pers adalah menegakkan keadilan dan kebenaran,memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pers yang merdeka tidak cukup hanya “cepat memberitakan,”
tetapi harus “tepat memverifikasi.”
Pers yang profesional tidak mengejar sensasi, tetapi membangun kesadaran dan peradaban.

Sebagai bagian dari bangsa yang menjunjung demokrasi,
kita semua — jaksa, polisi, guru, ulama, dan jurnalis — memiliki tanggung jawab yang sama:menjaga agar informasi tetap menjadi cahaya, bukan senjata yang melukai. “Dalam setiap kemerdekaan, selalu ada etika.

Dalam setiap kebebasan, ada tanggung jawab.

Itulah jiwa sejati kemerdekaan pers yang sesungguhnya.”
— Alfa Dera

Loading

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *